Dilihat kali
JAKARTA, Realitasnews.com - MPR dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bakal mengamendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD '45). Rencana ini menuai pro-kontra.
Bergulirnya amendemen tahun ini ditandai dengan kesepakatan antara MPR dan BPIP. Haluan negara bakal menjadi objek garapan amendemen ini.
"Akhirnya tadi disepakati soal usulan amendemen terbatas (UUD 1945). Soal haluan negara. Nanti akan dikonsultasikan dengan Presiden," kata Zulkifli di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/3/2018).
Menyambut bergulirnya amendemen ini, anggota MPR dari Fraksi Hanura, Inas Nasrullah Zubir, menyoroti bahaya kembalinya haluan negara atau dahulu dikenal sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang melegitimasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan MPR menjadi lembaga tertinggi, akan berbahaya jika pimpinan MPR tidak amanah.
"Lembaga tertinggi negara akan memiliki pengertian bahwa ia adalah institusi di atas Presiden, DPR, dan DPD dengan kewenangan yang luar biasa. Tentu akan menjadi berbahaya jika pimpinan lembaga tersebut tidak amanah," ucap Inas.
Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR Agus Gumiwang menolak amendemen secara terbatas ini. Saat ini, presiden yang terpilih, menurutnya, tidak membutuhkan GBHN.
"Saya pribadi mengatakan tidak perlu ada GBHN ya kecuali kita memang mau mundur kembali, di mana presiden dipilih oleh MPR. Sehingga konsekuensi adalah dipilih MPR maka presiden bertanggung jawab oleh MPR, termasuk program kerjanya dibuat MPR," ujar Agus Gumiwang.
Anggota F-PPP Achmad Baidowi menyampaikan amendemen terbatas itu diperlukan untuk menjamin keberlangsungan pembangunan bangsa. Namun ia menolak apabila MPR kembali ditetapkan sebagai lembaga tertinggi negara yang bisa menjadi alat pelanggeng kekuasaan seperti pada zaman Orde Baru.
"Dengan GBHN, maka perjalanan pembangunan akan lebih terarah dan kontinu. Adapun menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi tidaklah relevan. Karena fungsi MPR hari ini sudah berbeda jauh dengan kondisi era Orba," sebut Baidowi.
Kata 'sepakat' soal amendemen ini ditandai lewat pertemuan tertutup jajaran pengurus Unit Kerja Presiden Bidang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dengan pimpinan MPR di gedung Nusantara V, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/3) pagi.
Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri hadir langsung ditemani beberapa anggota Dewan Pengarah, seperti Mahfud MD dan Try Sutrisno. Sedangkan Ketua MPR Zulkifli Hasan didampingi Wakil Ketua MPR EE Mangindaan.
Zulkifli hanya sedikit membocorkan bahasan pertemuan itu. "Ada masukan dari publik sebagian meminta kembali ke UUD 1945 yang asli, sementara yang lain tetap," ujarnya.
Sehari setelah itu, Zulkifli menyatakan akan mengkonsultasikan usul amendemen terbatas UUD 1945 dengan Presiden Jokowi. Zulkifli menyebut Megawati bakal mengatur konsultasi itu.
"Kalau yang amendemen bersepakat namanya terbatas di MPR. Amendemen terbatas hanya untuk haluan negara. Karena itu, perlu konsultasi dengan Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Nanti Mbak Mega yang akan mengatur ke sana," ucap Zulkifli.
Ia menyatakan, selain soal amendemen terbatas, ada pembahasan sejumlah hal dalam UUD 1945 untuk diamendemen, di antaranya terkait fungsi DPD hingga sistem politik.
"Kemarin bersama Mbak Mega (Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri) dan teman-teman dari Badan Pancasila ini harus kita perjelas fungsi DPD itu bagaimana fungsi DPD. Jangan DPD galau. MPR juga begitu, jangan sampai antara ada dan tiada. Itu mesti diperjelas," kata Zulkifli.
Untuk diketahui, status MPR sebagai lembaga negara tertinggi sudah batal lewat amendemen UUD '45 pada 1999-2002. Seusai amendemen itu, MPR tak lagi menjadi lembaga tertinggi dan muncul perimbangan kekuasaan dari DPR dan DPD.
Memang belum ada yang menyatakan langsung bahwa amendemen kali ini bakal mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Meski demikian, amatan soal maksud politis pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi negara sudah kadung muncul.
"Dengan menghidupkan GBHN, fokus kekuasaan itu hendak digeser kembali ke MPR, ke dalam sebuah oligarki politik," tilik pakar hukum tata negara Refly Harun, Kamis (15/3) kemarin.
Refly Harun menilai amendemen UUD '45 ini berbahaya. Sebab, MPR akan kembali menjadi lembaga tertinggi. Amendemen ini bermaksud mengembalikan GBHN sebagaimana saat Orde Baru, saat MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Saat itu, MPR hanya menjadi alat legitimasi penguasa agar bisa terus melanggengkan kekuasaan.
"Kita memiliki sejarah yang buruk saat MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Saat institusi MPR disandera penguasa, maka MPR hanyalah alat legitimasi melanggengkan kekuasaan Presiden secara terus-menerus tanpa pembatasan di zaman Soeharto," tutur Refly.
(detik.com)
Posting Komentar
Facebook Disqus