Dilihat kali
Ilustrasi TNI AD. Tempo/Suryo Wibowo |
"Kami tak ada firasat apa-apa sebelum ini," ujar adik kandung Heru, Yogi Tribayu, 24 tahun, Jumat, 19 Mei 2017.
Namun, kata dia, tiga hari sebelum kejadian, almarhum menghubunginya lewat telepon seluler.
Kapten Haru meminta adiknya menjaga keluarganya. Almarhum merupakan anak sulung dari pasangan Bahri dan Marjuni.
Ia meninggalkan satu istri dan dua anak. "Saat itu, dia bilang, "Jaga keluarga selama ditinggal, ya'," ujarnya,
Yogi mengenal Heru sebagai kakak yang baik dan suka berolahraga. Ia juga sedang membangun bisnis dengan kakaknya di kawasan Tanggerang. Sehari-hari, Heru berdinas di Batalyon Arhanudri 1/Divif 1 Kostrad Serpong. Dia masuk TNI Angkatan Darat sekitar 2008, setelah mendapatkan gelar sarjana ekonomi. "Di Serpong sudah sekitar dua tahun," ucapnya.
Kakak sepupu Heru, Oktavianus, mengatakan terakhir berkomunikasi dengan Heru sekitar beberapa pekan lalu sebelum dia berangkat ke Natuna. Saat itu, Heru hanya minta izin pergi latihan. "Tak ada firasat. Dia memang biasa minta izin gitu," tuturnya.
Kapten Heru dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa, Lolong Padang, Sumatera Barat, Kamis, 18 Mei 2017. Prajurit TNI AD itu berasal dari Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman.
Kejadian ini berawal ketika latihan pendahuluan yang dilakukan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) di Natuna sekitar pukul 11.21. Saat latihan, pucuk meriam giant bow dari Batalyon Arhanud 1/K, yang melakukan penembakan, mengalami gangguan pada pembatas elevasi. Akibatnya, meriam tersebut tak bisa dikendalikan dan menjadi liar.
Markas Besar TNI AD melakukan investigasi untuk mengungkap penyebab kecelakaan yang terjadi saat latihan tempur Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) TNI di Natuna, Kepulauan Riau itu. Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigadir Jenderal TNI Alfret Denny Teujeh di Jakarta, Kamis, mengatakan kecelakaan itu menyebabkan empat prajurit gugur dan delapan prajurit lain mengalami luka-luka.
(tempo.co.id)
Posting Komentar
Facebook Disqus