Dilihat kali
Makin memanasnya persoalan ini, manakala Indosat Ooredoo menuding Telkomsel melakukan monopoli di luar Pulau Jawa dengan memiliki pangsa pasar lebih dari 50 persen. Tak sekadar menuding semata, Indosat Ooredoo pun mengajak seluruh petinggi operator selular untuk buka suara soal persaingan yang dianggap tak sehat ini.
Kami bukan bermaksud mengajak melawan Telkomsel. Kami ingin mengajak semua operator ngomong secara terbuka mengenai kondisi monopolistic ini. Jangan diem aja, ujar CEO Indosat Ooredoo, Alexander Rusli
Namun, gayung tak bersambut, ajakan bos Indosat Ooredoo tak membuat petinggi operator selular mau bersuara. Mereka cenderung tutup mulut rapat-rapat. CEO XL Axiata Dian Siswarini, misalnya. Dian hanya mau berkomentar soal persaingan yang begitu ketat di industri telekomunikasi dan enggan menanggapi polemik yang ada saat ini.
Terkait tudingan monopoli, Telkomsel blak-blakan memaparkan data terkait hal itu. Menurutnya, tidak benar jika operator yang berdiri sejak tahun 1995 memiliki pangsa pasar di luar Pulau Jawa lebih dari 50 persen. Mereka mengklaim pangsa pasarnya tak sebanyak yang dituduhkan Indosat Ooredoo. Bahkan menurut mereka, penguasaan pangsa pasar saat ini merupakan usaha yang dirintisnya melalui perjuangan jatuh bangun saat awal berdiri.
"Jadi kalau dianggap dominan, pada dasarnya di luar Pulau Jawa kami tak dominan. Secara market share juga, Telkomsel tidak sampai lebih dari 50 persen, mungkin mendekati. Kalau pada akhirnya kami melaju lebih cepat, itu butuh perjuangan panjang. Dominasi Telkomsel bukan keinginan kita tapi ini memang perjuangan kita. Ada daerah yang tak ada penghuninya pun kami bangun, ujar Direktur Utama Telkomsel, Ririek Adriansyah.
Alhasil, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), turun tangan memanggil kedua operator selular itu. Mereka ingin mendengarkan langsung pokok persoalan yang terjadi. Seperti tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Indosat Ooredoo membawa segepok bukti terkait sepak terjang Telkomsel di luar Pulau Jawa.
Berdasarkan data dari hasil presentasi dengan BRTI, ada beberapa poin yang membuat Indosat Ooredoo gerah terhadap sepak terjang Telkomsel di luar Pulau Jawa.
Selain dianggap melakukan monopoli, Telkomsel juga dituding provokatif menayangkan video iklan yang dianggap tak etis saat operator tersebut berulang tahun ke 21. Dalam tayangan video iklan itu, tergambar jika Telkomsel menyebut nama semua operator beserta ciri khas warna mereka. Menjadi provokatif disebabkan adanya ilustrasi orang yang sedang melakukan lomba lari dengan warna yang menjadi ciri khas masing-masing operator. Ilustrasi orang dengan warna merah yang berlari digambarkan sebagai Telkomsel di urutan pertama, jauh meninggalkan pesaingnya seperti Indosat Ooredoo, XL Axiata, Tri, Axis, dan Smartfren.
Tak hanya itu, bukti lain yang dipaparkan Indosat Ooredoo, seperti di wilayah Gorontalo/Bone/Wajo dan beberapa kabupaten di Sulawesi, Telkomsel dituding pernah melakukan intimidasi ke outlet. Outlet tidak boleh memajang perdana Indosat Ooredoo. Jika mereka berani memajang, maka chip Mkios yang dimilikinya akan diblokir. Bahkan, dalam file presentasi itu, Indosat Ooredoo menyebutkan adanya peran Direksi Telkomsel untuk memerahkan semua outlet yang berada di wilayah Sulawesi.
Kami yakin bahwa BRTI akan memberikan keputusan yang objective sesuai regulasi yang ada, ujar Group Head Corporate Communication Indosat Ooredoo, Deva Rachman.
Tudingan jika manajemen Telkomsel ikut berperan, ditampik habis-habisan oleh bos Telkomsel. Kata Ririek, tak sedikit pun pihak manajemen pernah menginstruksikan kepada bawahannya untuk melakukan kegiatan yang melanggar aturan berbisnis.
Foto-foto yang beredar, dari kami (Manajemen red) tidak ada instruksi melakukan seperti itu. Kita dalam melakukan bisnis tetap berpegang teguh pada aturan yang ada, ujarnya.
Namun, bukannya semakin adem pasca pemanggilan oleh kedua instansi pemerintah itu, ini justru semakin memanas kembali.
Colak-colek regulasi
Ribut-ribut Indosat Ooredoo dengan Telkomsel ini pun semakin melebar hingga masuk ke ranah revisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 52 dan 53 tahun 2000 yang di dalamnya mengatur soal network sharing dan biaya interkoneksi. Pemerintah memang tengah mengkaji kembali untuk melakukan revisi pada PP tersebut.
Kebetulan, Indosat Ooredoo dan XL Axiata, mendukung dan menunggu revisi PP itu agar segera ditandatangani Presiden RI, Joko Widodo. Mereka beralasan, jika disahkan PP itu, maka industri telekomunikasi bakal semakin efisien. Hal itu juga seperti yang diharapkan oleh Menkominfo. Maklum, tahun lalu, industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) termasuk juga telekomunikasi, merupakan industri nomor dua setelah Migas sebagai penyumbang defisit transaksi perdagangan.
Sejatinya, kedua operator tersebut telah menjalin kolaborasi network sharing berbasis Multi Operator Radio Access Network (MORAN). Kolaborasi itu ingin mereka tingkatkan hingga menjadi Multi Operator Core Network (MOCN). MOCN ini sederhananya memungkinkan terjadinya penggunaan frekuensi secara bersama. Selain itu juga, dengan penggunaan metode MOCN, akan lebih menciptakan efisiensi investasi sebesar 40 persen. Namun, untuk memuluskan rencana itu, mereka terganjal dengan aturan network sharing.
Di sisi lain, Telkomsel kurang setuju jika network sharing dijadikan sebagai mandatory. Operator yang identik dengan warna merah ini, lebih setuju jika network sharing dilakukan sebagai business to business (B2B). Jika aturan tersebut diketok palu, maka dikhawatirkan operator selular akan malas membangun jaringan mereka di luar Pulau Jawa.
Kekhawatiran Telkomsel, tentu tidak lain lantaran mereka telah membangun 116 ribu base transceiver station (BTS) yang diklaim telah melayani 95 persen populasi penduduk Indonesia, termasuk juga di daerah terpencil dan pulau terluar serta daerah perbatasan negara. Sementara, Indosat Ooredoo memiliki 53 ribu BTS dan XL Axiata 59 ribu BTS di seluruh pelosok tanah air.
Nah, lamanya revisi PP tersebut diketok palu, kemudian timbul kabar jika Telkomsel hendak menjegal aturan itu.
Sekarang mereka (Telkomsel Red) fight interkoneksi. Terus fight mau gagalin netco, ujar CEO Indosat Ooredoo, Alexander Rusli.
Menariknya, tudingan bos Indosat Ooredoo jika Telkomsel hendak menjegal aturan itu, malah membuat bingung mereka. Pasalnya, dikatakan Ririek, justru pihaknya lah yang tak tahu menahu soal hal itu. Ajakan dari pemerintah mendiskusikan terkait revisi PP tersebut tak pernah diterima oleh mereka. Bahkan, mengenai adanya revisi PP yang konon sudah berada di meja Presiden RI Jokowi, diketahuinya dari pemberitaan media.
"Kami tidak merasa dilibatkan dalam persoalan revisi aturan itu. Kami juga baru tahu dari media massa," jelasnya.
Negeri ini pun semakin nampak lucu, manakala pemerintah dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, malah tak tahu menahu soal tidak dilibatkannya Telkomsel dalam pembahasan isi dari naskah revisi PP tersebut. Dia berdalih, karena bersifat PP maka hal itu dilakukan antar Kementerian. Artinya, PP tersebut bukan berada pada komando Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
Seingat saya PP itu, antar Kementerian yang di lead bukan oleh Kemkominfo. Kalau Peraturan Menteri (PM), baru di lead oleh Kemkominfo. Kalau PP saya gak ikut rapat bahas PP itu. Itu di bahas biasanya antar Kementerian karena levelnya pemerintah ya. Yang mempublikasikan untuk konsultasi publik dari pemerintah, ujar Menkominfo.
Menurutnya, pada dasarnya ada dua poin besar mengapa perlu dilakukannya revisi PP tersebut, yakni berkaitan dengan penyelenggaraan dan frekuensi. Dan salah satunya adalah untuk menegaskan agar tidak ada lagi persepsi yang berbeda tentang penggunaan frekuensi seperti kasus Indosat IM2.
Dirinya pun enggan lebih jauh mengomentari perang dingin antara Indosat Ooredoo dengan Telkomsel. Bahkan, dirinya cenderung belum memiliki sikap untuk menengahi perselisihan kedua operator selular tersebut.
Berantem kenapa? Coba tanyakan saja sama mereka, katanya.
Jika pemerintah belum memiliki sikap, lantas sampai kapan perselisihan ini berakhir? (merdeka.com)
Social Link